Minggu, 24 Juli 2016




 TEORI KOMUNIKASI DALAM KONTEKS "GROUP DECISION MAKING"

Adaptive Structuration Theory
Adaptive Penstrukturan Teori (AST) adalah salah satu dari tiga teori komunikasi kelompok. Hal ini terinspirasi oleh konsep Anthony Giddens tentang strukturasi. AST dikembangkan oleh M. Scott Poole berdasarkan pada karya Giddens, Robert McPhee, dan David Seibold. Poole mengambil pendekatan kritis untuk model linear komunikasi dan menetapkan bahwa dinamika kelompok terlalu rumit untuk dikurangi beberapa proposisi atau rantai diprediksi peristiwa. Poole percaya bahwa anggota kelompok mempengaruhi hasil dan panggilan adaptif teorinya karena ia berpikir bahwa anggota kelompok sengaja beradaptasi aturan dan sumber daya untuk mencapai tujuan. AST adalah sebuah pendekatan untuk mempelajari peran teknologi informasi canggih dalam perubahan organisasi. Teori ini berusaha untuk memahami jenis struktur yang disediakan oleh teknologi canggih dan struktur yang benar-benar muncul dalam tindakan manusia sebagai orang berinteraksi dengan teknologi ini.
            Latar Belakang Teori
Adalah Marshall Scott Poole yang mengembangkan Teori Strukturasi adaptif (Adaptive Structuration Theory). Profesor komunikasi pada Texas A&M University itu dikenal sebagai pakar di bidang komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi, terutama pada sisi metodologi penelitian dan perkembangan teori. Poole mengembangkan teori ini bersama rekan-rekannya, yaitu Robert McPhee dari Arizona State University dan David Seibold dari The University California.
Gagasan Poole berangkat dari teori strukturasi yang dikemukakan Anthony Giddens. Dalam penelitiannya, Gidden mendeskripsikan bagaimana institusi sosial—kelompok dan organisasi, misalnya—diproduksi, direproduksi, dan ditransformasi melalui penggunaan aturan-aturan sosial. Aturan itu dibuat sebagai panduan perilaku anggotanya, sebagaimana cetak biru yang digunakan untuk mengarahkan seorang kontraktor dalam membangun struktur bangunan (West & Turner, 2007:296). Kunci dari memahami komunikasi yang terjadi dalam sebuah kelompok atau organisasi, menurut Gidden, adalah dengan mempelajari struktur yang menjadi fondasi mereka. Gidden membedakan pengertian sistem dan struktur. Sistem adalah kelompok itu sendiri, termasuk juga perilaku yang dilaksanakannya, Sementara struktur adalah aturan-aturan yang mereka sepakati. Dalam contoh di atas, sistem adalah kelompok Rukun Tangga (RT), sedangkan aturan berupa tata tertib warga adalah strukturnya.
Teori ini mengambil nama ‘Strukturasi Adaptif’, karena anggota kelompok secara sengaja meyesuaikan aturan dan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Selain itu, strukturasi adalah sesuatu yang lebih kompleks daripada model urutan tunggal. Poole percaya bahwa nilai dari pembuatan teori keputusan kelompok bergantung pada seberapa baik ia mengalamatkan kekomplekskan interaksi yang ada dalam sebuah kelompok.
Teori poole menjelaskan inti yang dibahasnya dengan sinopsis bahwa anggota-anggota di kelompok-kelompok membentuk kelompok mereka sesuai dengan tindakan mereka di dalamnya. Berkali-kali orang membangun struktur atau rencana yang tidak nyaman bagi mereka tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka yang membuatnya. Pertanyaan mendasarnya adalah (1) apakah keadaan ini dapat berubah, dan (2) apakah anggota kelompok benar-benar diberikan kebebasan untuk membuat keputusan, ataukah ada aturan yang membatasi kebebasan itu? Pertanyaan pertama berhubungan dengan stability versus change. Sedangkan pertanyaan kedua berkaitan dengan free choice atau determined behavior. Inti adaptive structuration theory adalah membuat orang-orang itu menyadari aturan dan sumber-sumber daya yang mereka gunakan supaya mereka memiliki kontrol lebih akan apa yang mereka lakukan di dalam kelompok. Perubahan dalam suatu kelompok bisa terjadi hanya jika orang-orang di dalamnya sadar tentang tindakan mereka dalam kelompok ini kemudian melakukan sesuatu untuk mengubahnya.
Phasing Out The Phase Model
Sekelompok kecil peneliti di abad ke-20 percaya bahwa ada suatu pola komunikasi universal yang digunakan semua kelompok. Pola itu terdiri atas fase-fase, yaitu:
orientation—usaha yang tidak fokus karena kelompok belum memiliki tujuan yang jelas, hubungan di dalamnya tidak jelas Karena individu-individu di dalamnya belum saling mengenal dan para anggota butuh lebih banyak informasi.
conflict—ada perbedaan pendapat mengenai pendekatan masalah yang digunakan dan saling berargumentasi tentang pandangan mereka akan sesuatu, para anggota saling membenarkan posisi mereka.
coalescence—ketegangan diredukasi melalui negoisasi yang damai, para anggota mengadopsi solusi yang diterima semua anggota.
development—kelompok berkonsentrasi pada cara pelaksanaan satu solusi, para anggota terlibat dan mereka senang akan keterlibatan itu.
integration—kelompok fokus pada ‘tension-free solidarity’, bukan pada tugas, para anggota saling menghargai sebagai usaha untuk membentuk persatuan kelompok.
Namun Poole tidak yakin dengan fase-fase ini. Ia berpikir bahwa suatu proses pengambilan keputusan, sangat tergantung pada jika (if) dan kapan (when). Artinya, dalam situasi yang berbeda, proses pengambilan keputusan dalam kelompok juga akan berbeda. Ia beranggapan kompleksitas kelompok terlalu tinggi untuk direduksi untuk sekadar memprediksi urutan pengambilan keputusan yang spesifik. Poole berpikir bahwa para anggota kelompok dipengaruhi oleh struktur sosial seperti komposisi kelompok, jaringan komunikasi, hierarki status, syarat-syarat kerja, norma kelompok, dan tekanan peer. Karenanya, Poole melihat teori Giddens tentang orang dalam masyarakat sebagai ‘active agents’, sangat menarik. Bahwa setiap orang dapat bertindak dan memiliki kapasitas untuk membuat perbedaan. Poole melihat padangan Giddens ini bisa diadaptasi pada jenjang mikro dalam aktivitas kelompok kecil.
Structuration Menurut Giddens
Structuration mengacu pada “produksi dan reproduksi sistem sosial melalui penggunaan aturan dan sumber daya yang ada”. Giddens menggunakan kata interaction untuk merepresentasikan kepercayaannya bahwa orang relatif bebas bertindak seperti yang mereka inginkan. Aturan (rules) digunakan secara implisit sebagai resep untuk terus memperbaiki kehidupan. Sumber daya (resources) mengacu pada sifat-sifat, kemampuan, pengetahuan, dan hal-hal yang dimiliki setiap individu di dalamnya. Karena aturan dan sumber daya senantiasa berubah, structuration adalah suatu proses yang terus mengalir. Produksi sistem sosial berhubungan dengan ‘membuat realitas sosial’. Reproduksi adalah mempertahankan status quo bagi apa yang sudah ada sebelumnya.
Ini adalah inti dari teori Poole. Disebut adaptive structuration karena dia mengadaptasi teori strukturasi Giddens dari jejang makro, ke dalam jenjang mikro dalam kelompok kecil. Ia melihat bahwa kelompok, secara sengaja, menyesuaikan aturan dan sumber daya untuk mencapai tujuan mereka, di mana tiap-tiap individu punya kebebasan memilih dan turut andil dalam menghasilkan suatu perubahan.
Interaksi—Kepedulian akan Moralitas, Komunikasi, dan Kekuatan
Group structuration dibentuk oleh tindakan para anggotanya. Jika aturan dan sumber daya dalam suatu kelompok berubah, itu karena para anggotanya melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Setiap anggota dalam kelompok, membawa moralitas, komunikasi, dan kekuatan ketika ia mengajukan pendapatnya dalam forum. Menurut Poole, ketiganya bersatu dalam setiap kegiatan kelompok. Ia mengatakan bahwa sulit menggunakan moral tanpa mempertimbangkan interpretasi—masalah makna―dan bagaimana mereka dibuat untuk diperhatikan―masalah kekuatan.
 Penggunaan dan Penyalahgunaan Aturan dan Sumber Daya;Menurut Poole, rules adalah dalil yang mengindikasikan sesuatu harus dilakukan atau masalah apa yang baik dan buruk. Resources adalah material, yang dimiliki, atau perlengkapan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau mengontrol tindakan kelompok atau anggotanya.
Di dalam proses pengambilan keputusan, setiap kelompok mempunyai aturan main sendiri. Sebagian mengambil aturan pengambilan keputusan yang digunakan oleh organisasi formal yang terkenal seperti mekanisme voting di DPR. Ini disebut appropriation. Ini adalah salah satu bagian dari aturan yang digunakan. Namun terkadang aturan ini tidak murni digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Aturan yang digunakan bisa merupakan gabungan atau modifikasi dari dua atau lebih aturan yang diajukan.
Penyalahgunaan aturan terjadi ketika satu atau lebih individu dalam suatu kelompok ‘memanfaatkan’ rules atau resources yang dimiliki untuk mencapai tujuannya sendiri yang terkadang tidk ada sangkut pautnya dengan tujuan kelompok. Di dalam forum, setiap individu berusaha menggunakan kemampuan, kecerdasan, pengalaman, atau apapun yang mereka miliki, untuk mempengaruhi hasil akhir. Meskipun beberapa orang justru tidak menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Sebagian orang akan mendominasi forum sehingga bisa saja keputusan akhir yang nantinya diambil, lebih bersifat politis daripada rasional.
Menyelidiki Penggunaan Aturan dan Sumber Daya
Berkaitan dengan pengamatan tentang bagaimana penggunaan aturan dalam suatu kelompok. Ketika suatu aturan atau cara dipakai, selalu ada alasan di baliknya. Ada tujuan atau idealisme yang ingin dipertahankan atau diwujudkan. Ada nilai-nilai tertentu di balik penggunaan aturan itu. Begitu juga sumber daya. Apakah suatu kelompok atau individu-individu di dalamnya memanfaatkan segala fasilitas, kemampuan, atau pengetahuan yang dimiliki. Ada individu yang menggunakan sumber daya secara tidak tepat sehingga hasilnya jauh dari maksimal, atau sebaliknya.

Produksi Perubahan, Reproduksi Stabilitas
Selain membahas proses dalam kelompok, di sini akan dibahas juga mengenai produk yang diproduksi dan direproduksi melalui interaksi. Jika Poole membahas apa dan bagaimana membuat suatu keputusan, ia akan bilang bahwa produk akhirnya adalah produksi dan reproduksi. Jika keputusan yang diambil berbeda dengan keputusan yang sudah ada sebelumnya, kelompok itu sedang memproduksi perubahan. Sebaliknya, jika keputusannya sama dengan yang sudah ada sebelumnya, stabilitaslah yang diproduksi (terjadi reproduksi).
Duality of Structure
Poole lebih penasaran lagi untuk mengetahui pengaruh proses structuration terhadap rules dan resources dalam kelompok. Dan ia percaya bahwa konsep duality of structure dari Giddens adalah kunci untuk menemukan pengaruh itu. Duality structure melihat bahwa rules dan resources adalah medium dan outcome. Dalam proses pengambilan keputusan, artinya, pembuatan keputusan tidak hanya dipengaruhi rules dan resources tapi juga mempengaruhi rules dan resources.
Stabilitas dan perubahan adalah produk dari proses yang sama. Struktur stabil jika pelaku di dalamnya membuatnya begitu, dan mempertahankan sistemnya berkali-kali. Struktur juga bisa berubah dengan prosedur yang sesuai rules dan resources yang ada. Meskipun demikian, tidak ada kelompok yang benar-benar stabil―dalam arti terus-menerus mereproduksi status quo. Setiap kelompok selalu menginginkan sedikit change atau dinamika dalam interaksi di dalam kelompoknya.
Esensi Teori
West dan Turner (2007:299) menggaris bawahi tiga asumsi pokok teori strukturasi adaptif, yaitu:
1. Kelompok dan organisasi diproduksi dan direproduksi melalui penggunaan aturan dan sumber daya.
2. Aturan komunikasi berfungsi baik sebagai sebagai medium maupun hasil akhir dari interaksi.
3. Strukturasi kekuasaan ada di dalam organisasi dan menuntut proses pengambilan keputusan dengan menyediakan informasi mengenai bagaimana cara untuk mencapai tujuan kita dengan cara yang terbaik.
Poole menekankan pentingnya memahami bahwa individu menciptakan dan membentuk kelompok sebagaimana mereka berperilaku di dalamnya. Perilaku anggota kelompok, seperti dikatakan Giddens, dipengaruhi oleh tiga elemen tindakan yaitu interpretasi, moralitas, dan kekuasaan. Interpretasi dilakukan melalui bahasa, moralitas didirikan melalui norma kelompok, dan kekuasaan diraih melalui struktur kekuasaan interpersonal yang timbul dalam kelompok. Menurut Poole, interaksi selalu menyangkut ketiga hal tersebut. Poole mengasumsikan bahwa anggota kelompok adalah aktor yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang secara refleksif mengontrol aktivitas mereka. Moralitas, interpretasi, dan kekuasan selalu dikombinasikan dalam setiap tindakan kelompok. Konstribusi tiga elemen tindakan tersebut sangat menarik sebagai awal bagi kita memahami proses yag dilalui oleh kelompok saat mereka membuat suatu keputusan.
Berdasarkan pernyataan Poole dan rekan-rekan megenai teori ini dapat dikatakan bahwa esensi teori ini adalah : kelompok-kelompok dapat mengikuti rangkaian atau urutan yang bervariasi dalam perkembangan keputusan, bergantung pada kemungkinan-kemungkinan yang mereka hadapi.
Sebelum Poole mencetuskan teorinya, para peneliti berpikir bahwa mereka telah mengidentifikasi pola universal untuk pengambilan keputusan di kelompok kecil. Pola ini dikenal juga dengan nama model urutan tunggal (a single sequence model) yang terdiri dari :
1. Orientasi (orientation); usaha-usaha tidak terfokus karena tujuan belum jelas
2. Konflik (conflict); orang-orang tidak setuju pada pendekatan terhadap masalah
3. Penggabungan (coalescence); ketegangan dikurangi melalui negosiasi damai
4.Pembangunan (Development); kelompok berkonsentrasi pada cara untuk mengimplementasikan solusi tunggal
5. Integrasi (integration), kelompok berfokus pada ketegangan – solidaritas bebas daripada tugas.
Marshall Poole tidak dapat menerima model urutan tunggal ini. Menurutnya dinamika kelompok merupakan hal yang sangat rumit dan tidak dapat disederhanakan ke dalam satu rangkaian proposisi atau rangkaian peristiwa tunggal terprediksi. Pembuatan keputusan kelompok adalah proses di mana anggota-anggota kelompok berusaha untuk mencapai persetujuan pada keputusan terakhir. Individu mengeluarkan opini dan preferensi dan dengannya memproduksi atau mereproduksi aturan tertentu di mana persetujuan bisa dicapai atau dihadang. Dalam membuat keputusan tersebut, menurutnya kelompok-kelompok terkadang mengikuti prosedur terprediksi, namun terkadang mereka tidak sistematik, dan terkadang juga mereka mengembangkan suatu jalur atau urutan sendiri dalam rangka merespon suatu kebutuhan unik yang mereka hadapi. Hal Ini tidak dapat terlepas dari tiga variabel yang mempengaruhi bagaimana kelompok beroperasi, yaitu :
1. Objective task characteristics; yakni menyangkut jenis permasalahan, kejelasan masalah, jenis keahlian yang diperlukan, dampak dari permasalahan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam permasalahan tersebut.
2. Group task characteristics; yakni menyangkut pengalaman terdahulu kelompok terhadap masalah tersebut, dan tingkat urgensi keputusan.
3. Group structural characteristic; yakni menyangkut kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, serta distribusi kekuasaan.
Sesua dengan tesis Giddens, Poole menegaskan bahwa anggota kelompok adalah agen aktif. Strukturasi adalah produksi dan reproduksi sistem sosial melalui penggunaan aturan-aturan dan sumberdaya oleh anggota dalam interaksi. Interaksi dalam teori tersebut itu adalah tindakan yang didasarkan pada kehendak bebas. Sedangkan aturan adalah proposisi yang membuat keputusan bernilai atau menunjukkan bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan. Sementara sumberdaya adalah material-material, barang milik, dan karakter yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau mengendalikan tindakan kelompok atau anggotanya. Produksi terjadi ketika anggota kelompok menggunakan aturan-aturan dan sumberdaya dalam interaksi, sementara itu reproduksi terjadi ketika fitur penguatan tindakan dari sistem sudah ada di tempat.
Dalam penelitian yang ia lakukan bersama rekan-rekannya, Poole menemukan secara umum ada tiga jenis rangkaian keputusan, yaitu :
1. A Standard Unitary Sequence (rangkaian standar tunggal); ini serupa dengan model urutan tunggal.
2. Complex Cylic Sequence (rangkaian putaran kompleks); kelompok akan melihat kedepan maupun ke belakang dalam rangka mencari kejelasan masalah dan mengasilkan solusi yang tepat.
3. Solution Oriented Sequence (rangkaian orientasi solusi); pada rangkaian ini tidak dilakukan analisis masalah secara mendalam, fokus diletakkan pada solusi ke depan.



Selanjutnya, dalam jalur keputusan yang dilalui oleh kelompok, terdapat tiga jalur aktivitas, atau bagian yang dikembangkan dan dilakukan oleh kelompok di sepanjang rangkaian, yaitu :
1. Task – process – track; berkaitan dengan tugas, misalnya analisis masalah dan merancang solusi.

2. Relational track; berkaitan dengan hubungan interpersonal, misalnya ketidaksetujuan dan kesepakatan.

3. Topic – focus track; sebuah seri dari isu atau keprihatinan yang dimiliki kelompok saat itu.
Proses kelompok terjadi pada jalur-jalur tersebut, dan selama proses berlangsung terjadi perpindahan jalur, serta terdapat transisi atau titik berhenti (breakpoint) saat perpindahan dari satu jalur ke jalur lainnya. Breakpoint merupakan hal yang sangat penting karena menandakan point kunci dalam perkembangan aktivitas pembuatan keputusan kelompok. Ada tiga jenis breakpoint yaitu :
1. Normal breakpoint; transisi ini diharapkan dan terduga. Titik ini mencakup istirahat, dan pergantian topik.

2. Delays; yakni masalah yang tidak terduga yang menyebabkan jeda dalam fungsi normal kelompok. Delay termasuk pendiskusian kembali isu-isu yang diperlukan kelompok untuk memecahkan konflik atau mengusahakan kesepahaman. Delay dapat menandakan adanya kesulitan dalam proses pengambilan keputusan, namun juga bisa menjadi tanda positif yang menunjukkan kehati-hatian dalam berpikir atau aktivitas kreatif.

3. Disruption; tingkatannya lebih serius, mencakup ketidaksetujuan dalam skala besar dan kegagalan kelompok (Littlejohn, 1996:297)
Gambar yang disajikan di halaman berikut, merupakan gambaran dari rangkaian, jalur dan breakpoint dalam proses pembuatan keputusan kelompok (Littlejohn, 1996:298)



Functional Perspective on Group Decision Making
Functional Perspective on Group Decision Making merupakan sebuah teori komunikasi kelompok yang memperlihatkan bagaimana proses pembuatan keputusan terjadi. Dalam kehidupan bermasyarakat dan terlebih dalam kehidupan organisasi, hampir dipastikan kita selalu menghadapi permasalahan yang harus dipecahkan. Dinamika pembuatan keputusan dalam sebuah kelompok tidak dapat dilepaskan dari persoalan komunikasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa pembuatan keputusan adalah komunikasi itu sendiri.
Kami mempercayai bahwa gagasan ini sangat penting. Bagi pembuat kebijakan, para manager, praktisi, mahasiswa yang sedang mempelajari proses-proses pembuatan keputusan, teori ini memberi cukup pemahaman mendasar terhadap proses tersebut. Semoga tulisan ini yang disarikan dari chapter 15 buku: Em Griffin, 2002, A First Look At Communication Theory, Boston: McGrawHill dapat membantu kepentingan dan kebutuhan pengetahuan Anda tentang pembuatan keputusan. http://www.referensipintar.com/jurnal/2016/9/16/9/0/Functional-Perspective-on-Group-Decision-Making.html
Functional Perspective on Group Decision Making (Randy Hirokawa dan Dennis Gouran): Sebuah Review
Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition
Seringkali suatu kelompok mendiskusikan sesuatu untuk menghasilkan suatu keputusan. Dengan mengasumsikan bahwa seluruh anggota dalam kelompok itu peduli terhadap topik pembicaraan, masing-masing memiliki kecerdasan khas, dan tengah menghadapi suatu tugas yang menuntut lebih banyak fakta, ide-ide baru, atau pemikiran yang jernih, Hirokawa dan Gouran yakin bahwa interaksi dalam kelompok punya dampak positif atas pembuatan keputusan (decision making). Hirokawa membahas solusi kualitas (quality). Sedangkan Gouran membahas keputusan yang tepat (appropriate).
Empat Fungsi untuk Decision Making yang Efektif
Hirokawa dan Gouran menganalogikan kelompok-kelompok kecil sebagai sistem biologi. Masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Agar suatu sistem dapat menjalankan fungsinya denang baik, diperlukan suatu jalur atau cara. Hirokawa dan Gouran melihat proses decision making dalam suatu kelompok perlu memenuhi 4 syarat untuk mengahasilkan solusi atau keputusan high-quality. Mereka menyebutnya sebagai requisite functions (fungsi-fungsi yang diperlukan) dalam proses decision making, yang terdiri atas:
1. Analisis masalah
Ketika sebuah pertanyaan muncul, ‘apakah kita membutuhkan perbaikan atau perubahan?’ yang harus kita lakukan sebelum menjawabnya adalah melihat realitas yang sedang terjadi. Sedikit saja ada pemahaman yang keliru tentang situasi yang tengah terjadi, akan mempengaruhi keputusan final. Menurut Hirokawa, contoh jelas tentang analisis yang salah adalah gagal mengenali sebuah ancaman yang potensial ketika ancaman itu benar-benar eksis. Setelah orang mengetahui apa yang dibutuhkan, mereka harus menemukan sifat-sifat, tingkatan, dan apa saja penyebab masalah itu.
2. Merumuskan tujuan
Sebuah kelompok harus sadar apa yang ingin mereka raih dalam kelompok itu. Karenanya, kelompok harus membangun kriteria untuk menilai alternatif solusi yang ditawarkan. Jika kelompok gagal memenuhi syarat ini, sepertinya keputusan yang diambil akan lebih dikendalikan oleh politik dan kekuasaan dari suatu pihak, daripada alasan yang rasional.
3. Identifikasi alternatif-alternatif yang mungkin ada
Hirokawa dan Gouran menekankan pentingnya menyusun solusi-solusi alternatif yang bisa dipilih anggota kelompok. Menurut mereka, jika tidak ada anggota yang menawarkan solusi alternatif yang mungkin digunakan, maka solusi yang ditawarkan relatif sedikit, dan kemungkinan menemukan jawaban yang tepat dan dapat diterima, juga rendah.
4. Mengevaluasi karakteristik-karakteristik positif dan negatif
Setelah mengidentifikasi solusi-solusi alternatif, peserta diskusi harus ‘mengetes’ kebaikan-kebaikan relatif dari tiap-tiap pilihan dengan kriteria-kriteria yang penting menurut kelompok. Perbandingan ini tidak terjadi secara otomatis. Di dalam setiap kelompok, perlu ada individu-individu yang mampu mengingatkan kelompok tentang sisi positif dan negatif dari setiap alternatif yang diajukan.
Memprioritaskan The Functions
Berarti menentukan mana yang paling penting dari keempat fungsi di atas. Meskipun Hirokawa dan Gouran sendiri telah berkali-kali menjelaskan dalam tulisannya bahwa itu bukan topik yang perlu didiskusikan dan menyatakan bahwa keempatnya perlu dicapai untuk memaksimalkan kemungkinan menghasilkan high-quality decision. Namun Hirokawa menambahkan bahwa kelomppok-kelompok yang sukses mengatasi masalah sulit tertentu seringkali mengambil langkah pengambilan keputusan yang biasa mereka gunakan. Dalam menyelesaikan beberapa masalah, tidak semua functions di atas dipakai.
Peran Komunikasi dalam Memenuhi The Functions
Hirokawa percaya bahwa komunikasi memiliki peranan yang sangat aktif dalam menentukan kualitas suatu keputusan. Ia menganggap bahwa diskusi kelompok adalah instrumen yang digunakan untuk menciptakan realitas sosial dalam hal keputusan itu dibuat. Diskusi membuat pengaruh yang kuat pada hasil akhir dari suatu kelompok.
Gouran dan Hirokawa menyebutkan beberapa rintangan yang sulit dalam proses pengambilan keputusan, yaitu mengabaikan masalah, fakta-fakta yang salah, asumsi dengan pedoman yang salah, kesimpulan yang tidak logis, berdasar pada pengaruh anggota kelompok yang berkuasa, dsb. Keduanya percaya, melalui pembicaraan (talk) kelompok bisa tersesat. Namun mereka juga percaya bahwa komunikasi memiliki kekuatan untuk menarik kelompok kembali pada jalur tujuan semula.
Karena keyakinan itulah, Hirokawa dan Gouran menyebutkan tiga tipe komunikasi dalam decision-making suatu kelompok, yaitu
1. Promotive , yaitu interaksi yang menggerakkan kelompok sepanjang jalur tujuan dengan mencoba memusatkan perhatian kepada salah satu dari empat fungsi decision-making. Tiap-tiap individu berperan aktif dan konstruktif dalam diskusi kelompok.
2. Disruptive , yaitu interaksi yang mengalihkan, memperlambat, atau menghalangi kemampuan anggota kelompok untuk mencapai keempat fungsi tadi.
3. Counteractive, yaitu interaksi yang para anggotanya biasa mengembalikan kelompoknya ke jalur yang seharusnya. Cara ini memang dapat membendung penyimpangan-penyimpangan dalam interaksi kelompok. Namun cara ini juga berkemungkinan menghalangi lahirnya suatu alternative decision yang tepat dan dapat diterima.
Dari Kolam Kecil menjadi Samudera Luas
Hirokawa membawa teorinya pada penelitian terkontrol yang dilakukannya pada suatu kelompok mahasiswa. Kemudian ia membandingkan rating FOICS setiap kelompok dengan kualitas keputusan yang diambil, dengan mengacu pada guru administrator yang telah berpengalaman di bidang yang diteliti Hirokawa. Setelah melakukan 12 kali penelitian empiris functional perspective, ia menemukan bahwa teorinya mampu menghitung lebih dari 60 persen dari variasi total pelaksanaan dalam kelompok. Maksudnya, ketika ada pertanyaan ‘sebaik apa suatu kelompok memenuhi keempat requisite functions?’ dengan melihat seluruh proses diskusi, maka kita akan memenangkan 60 persen waktu.
Kemudian Hirokawa meninggalkan laboratorium dan mulai menguji teorinya di lapangan, suatu kelompok paramedis yang menangani pasien, dan dalam mengambil keputusan, menggunakan teori Hiorokawa . Hasil yang diperoleh ternyata, jika keempat fungsi digunakan sesuai teorinya, keadaan pasien justru semakin buruk. Akhirnya Hirokawa menyimpulkan bahwa teorinya tidak menuntun pada keputusan yang berhasil. Keputusan yang diperoleh lewat keempat functions tersebut, mungkin, adalah keputusan yang ideal dan dinilai standar. Namun keputusan ideal itu belum tentu berhasil jika diterapkan di kehidupan nyata.
Gouran dan Hirokawa
Selama awal abad ke-20, John Dewey mengembangkan metode untuk menggambarkan proses bahwa seseorang harus melalui saat mereka bekerja pada pemecahan masalah. Pada tahun 1910, pada bukunya, Bagaimana Kita Pikirkan, Dewey mengemukakan bahwa proses berpikir reflektif melibatkan lima langkah: (1) kesulitan dalam merasa, (2) lokasi dan definisi, (3) usulan kemungkinan solusi, (4) pengembangan penalaran dan konsekuensi dari solusi, dan (5) pengamatan lebih lanjut dari percobaan yang mengarah pada penerimaan atau penolakan.
Pengaruh kedua pada pengembangan teori ini adalah karya Robert Bales. Bales dan rekan-rekannya bekerja pada kemampuan anggota kelompok untuk menangani empat masalah fungsional: adaptasi, kontrol instrumental, ekspresi, dan integrasi. Adaptasi dan kontrol instrumen berhubungan dengan pengelolaan pembuatan keputusan, sedangkan ekspresi dan integrasi berkaitan dengan manajemen pengelolaan hubungan. Kelompok berusaha untuk menjaga keseimbangan dalam kedua masalah ini dan komunikasi kelompok merupakan sarana utama mempertahankan keseimbangan itu.
Pengaruh ketiga pada pengembangan teori fungsional dari pengambilan keputusan yang efektif adalah karya Irving Janis pada pengambilan keputusan yang hati-hati. Kelompok ini melakukan (a) survei kemungkinan alternatif solusi, (b) survei tujuan yang akan dicapai, (c) memeriksa risiko dan manfaat yang terkait dengan alternatif, (d) melakukan pencarian informasi, (e) memproses informasi, (f) mengira-ngira alternatif risiko dan manfaatnya sebelum membuat pilihan akhir, dan (g) menyusun rencana untuk menerapkan pilihan yang diinginkan bersama.
Di ketiga pengaruh tersebut, sifat fungsional komunikasi adalah fokus, dengan kata lain, komunikasi adalah tujuan untuk mencapai beberapa tujuan. Dalam metode pemikiran reflektif Dewey, komunikasi adalah fungsional karena bila diterapkan pada diskusi kelompok memungkinkan kelompok untuk mencapai resolusi efektif dari masalah. Dalam pendapat Bales, komunikasi ada untuk mengaktifkan kelompok itu sendiri. Sedangkan, bagi Janis, komunikasi bersifat fungsional karena itu ada sarana untuk mencapai anggota kelompok agar memenuhi setiap karakteristik kewaspadaan.
Teori fungsional dari keputusan kelompok yang efektif bersandar pada asumsi bahwa efektivitas pengambilan keputusan tidak terpengaruh oleh produksi perilaku komunikatif tertentu, tetapi harus memenuhi suatu persyaratan. Persyaratan ini disebut oleh Gouran dan Hirokawa pada tahun 1983 sebagai syarat fungsional.
Untuk membuat keputusan yang efektif, kelompok tersebut harus melakukan hal-hal berikut ini:
Memahami masalah dengan berbagai pertimbangan.
Menentukan karakteristik agar suatu jawaban dapat diterima.
Menyusun berbagai alternatif yang realistis di antaranya jawaban yang telah diterima.
Kritis memeriksa setiap alternatif yang digunakan untuk menentukan jawaban.
Memilih alternatif yang terbaik sesuai dengan karakteristik dari suatu jawaban.
Stohl dan Holmes mengusulkan perpanjangan dengan menyarankan memahami masa lalu, kini, dan masa depan untuk memahami hubungan kelompok itu dengan lingkungannya.
Gouran dan Hirokawa juga mengajukan revisi dalam Buku Pengambilan Keputusan, Komunikasi dan Kelompok. Dalam identifikasi ini ada pengakuan akan pentingnya dimensi relasional kelompok dalam membuat keputusan yang efektif. Di antaranya adalah faktor-faktor afiliatif (kekhawatiran terhadap hubungan kelompok), kognitif (pengolahan informasi yang terhambat), dan egosentris (motivasi personal yang mendominasi).
1900-an: John Dewey mengembangkan metode untuk menggambarkan proses bahwa seseorang harus melalui saat mereka bekerja pada pemecahan masalah.
1950-an: Robert Bales dan rekan-rekannya bekerja pada kemampuan anggota kelompok untuk menangani empat masalah fungsional: adaptasi, kontrol instrumental, ekspresi, dan integrasi.
1972: Pengembangan teori fungsional dari pengambilan keputusan yang efektif adalah karya Irving Janis pada pengambilan keputusan yang hati-hati.
1983: Gouran dan Hirokawa membuat syarat fungsional dalam komunikasi kelompok fungsional.
1993: Stohl dan Holmes mengusulkan perpanjangan dengan menyarankan memahami masa lalu, kini, dan masa depan untuk memahami hubungan kelompok itu dengan lingkungannya.
Setelah 1993-an: Gouran dan Hirokawa juga mengajukan revisi dalam Buku Pengambilan Keputusan, Komunikasi dan Kelompok.

Kamis, 21 April 2016

Tugas  teori  komunikasi 1 ...
 Dari bentuknya, model komunikasi dasar terbagi menjadi 2,yaitu :
· Model komunikasi linear satu arah
· Model komunikasi sirkuler


MODEL-MODEL KOMUNIKASI LINEAR : SATU ARAH

Model ini didasari paradigma stimulus-respon.Komunikan adalah makhluk pasif, menerima apapun yang disampaikan komunikator kepadanya. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pasif menerima pesan, pesan berlangsung searah dan relatif tanpa umpan balik, karena itu disebut linear. (Model Aristoteles,Model Laswell, Model Braddock,Model Shannon-Weaver)

MODEL-MODEL KOMUNIKASI SIRKULER : DUA ARAH

Kedudukan komunikator dan komunikan relative setara. Munculnya paradigma baru ini merupakan pemisahan dari paradigma yang lama tentang komunikasi yang linear. Model sirkuler dikritik karena adanya kesamaan tingkat (equality)antara komunikator dan komunikan.(Model Schramm,Model De Fleur,Model Helical Dance)

Model Komunikasi Menurut Schramm;

Schramm membuat serangkai model komunikasi, dimulai dengan model komunikasi manusia yang sederhana (1954), lalu model yang lebih rumit yang memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi, hingga ke model komunikasi yang dianggap interaksi dua individu.

1. Model yang pertama mirip dengan model Shannon dan Weaver. Schramm menggunakan unsur source dan destination tapi tidak memunculkan transmitter dan receiver, yang ada adalah encoder (alat penyandi) dan decoder (alat penyandi balik). Menurut model ini, source boleh menjadi seorang individu atau organisasi, sinyalnya adalah bahasa dan destination-nya adalah pihak lain kepada siapa sinyal itu ditujukan.Dalam komunikasi lewat radio, encoder dapat berupa microphone dan decoder adalah earphone. Dalam komunikasi antarmanusia source dan encoder adalah satu orang sementara decoder dan destination pada sisi yang lainnya.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9PFNEHpS81Dw73K5fRE5vX8YxZ6xmy20aStnZBuAXvU8rhwCM40D6ksjPK9h2k_zFcMS-PrrrSObob4cCTeuBiqfY6viu2nw817_790RKxk-xpA70KWZE3i9kVY_3-R5mWKYCCfBbjdk/s320/fig4.gif

2. Dalam modelnya yang kedua, Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan dalam bidang pengalaman sumber dan sasaran-lah yang sebenarnya dikomunikasikan, karena bagian sinyal itulah yang dianut sama oleh sumber dan sasaran. Itulah sebabnya pada modelnya yang kedua ia mulai menyatukan source (sumber) dengan encoder(alat penyandi) yang semula terpisah. Demikian pula halnya dengan decoder (alat penyandi balik) yang ditempelkan dengan destination (tujuan/sasaran). Selain itu, ia menambah unsur field of experience (bidang pengalaman) yang dimiliki kedua pelaku komunikasi. Source menyandi (encode) dan destination menyandi balik (decode) pesan berdasarkan pengalaman yang dimiliki masing-masing. Semakin besar luas bidang pengalaman source yang berhimpitan dengan bidang pengalaman destination, semakin mudah komunikasi dilakukan. Bila kedua bidang itu tidak bertautan atau sangat sedikit pertautannya artinya 
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX9n86A8zHAL5-waQNjcxqlIYPuA9g6dQh9Y2nWNPE3Q81uVncNZY5gotHEEJwojsW8vryeORAIKuDwqfGa1Zw9fi3Pz_QTTxdLRiiddi1UOwZAx8XmsM0Iz7SjCfyLZGb5VzzyvzGVeY/s320/fieldofexperience.gif

3. Di Model ketiga, Schramm menganggap komunikasi sebagai interaksi dengan kedua pihak yang melakukan fungsi encoder/encoding(menyandi), interpreter/interpreting (menafsirkan), decoder/ decoding (menyandi-balik), mentransmisikan dan menerima sinyal., Di sini kita melihat umpan balik(message) dan ”lingkaran” yang berkelanjutan untuk berbagi informasi.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOyKQL_uysXVZGorhdSzyCEer6CSnSRDVFuaIerOAtfryy8gWNtkmrDs6nfqADxZDVetivzFTRSDP1u7NUU5Fzke3dtth-0PAcFsZ8QrzPV4GWtk9qJWMo4MC70b-KnmFs-oV-nYGi2Kk/s320/fig6.gif

Pada model ketiga ini, Schramm bekerjasama dengan Osgood sehingga dikenal sebagai model sirkular Osgood dan Schramm (The Osgood and Schramm Circular Model) Menurut Schramm seperti ditunjukan pada model ini, jelas bahwa setiap orang dalam proses komunikasi dapat sekaligus sebagai encoder dan decoder yang secara konstan menyandi balik tanda-tanda disekitar kita. Memberikan kode bisa juga disebut chanel, sedangkan proses kembali pesan tersebut disebut feedback atau umpan balik yang memainkan peran sangat penting dalam komunikasi. Karena itu memberi tahu kita bagaimana pesan yang kita tafsirkan baik dalam bentuk kata-kata sebagai jawaban, anggukan kepala, gelengan kepala, salah satu alis yang dinaikan dan sebagainya. Begitu juga dalam surat pembaca di media cetak seperti surat kabar. Surat pembaca ditujukan kepada redaksi sebagai protes atas editorial yang ditulis pada surat kabar tersebut ataupun tepuk tangan pendengar ceramah.


MATERI GRAND THEORY, MIDDLE RANGE THEORY, DAN NARROW THEORY.

GRAND TEORI SECARA UMUM
Grand theory adalah setiap teori yang dicoba dari penjelasan keseluruhan dari kehidupan sosial, sejarah, atau pengalaman manusia. Pada dasarnya berlawanan dengan empirisme, positivisme atau pandangan bahwa pengertian hanya mungkin dilakukan dengan mempelajari fakta-fakta, masyarakat dan fenomena. Interaksionisme simbolik sejatinya terdiri atas dua penggal kata, yaitu interaksi dan simbolik. Grand Theory  menekankan pada konsep keseimbangan, pengambilan keputusan, sistem dan bentuk komunikasi sebagai sarana dasar perangkat pengatur (central organizing devices) untuk mengkaji hubungan internasional. Grand theory, istilah yang diciptakan oleh C. Wright Mills dalam ‘The sociological imagination (1959)’ yang berkenaan dengan bentuk abstrak tertinggi suatu peneorian yang tersusunan atas konsep-konsep yang diprioritaskan atas dapat mengerti dunia sosial. Grand Teor juga  adalah sebuah istilah yang ditemukan oleh seorang ahli sosioligis bernama Charles Wright Mills dalam bukunya yang berjudul "The Sociological Imagination" untuk menunjukan bentuk teori absraksi tinggi yang mana pengaturan formal dan susunan dari konsep-konsep lebih penting dibandingkan pengertian terhadap dunia sosial.  Dalam pandangannya , Grand Teori kurang lebih dipisahkan  dari perhatian nyata kehidupan sehari-hari dan berbagai variasinya dalam ruang dan waktu.Bersumber dari: Qu(Cambridge, 1985entin Skinner, ed., The Return of Grand Theory in the Human Sciences

Ø TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Merupakan teori dalam sisiologi modern di dalamnya berintikan pemikiran penting dari berbagai tokoh sosiologi terutama George Herbert mead. Teori ini memusatkan perhatian lebih pada individu tentang bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain dengan menggunakan symbol symbol yang signifikan merupakan bahasa. Interaksionisme simbolik sejatinya terdiri atas dua penggal kata, yaitu interaksi dan simbolik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, interaksi didefinisikan sebagai hal, saling melakukan aksi, berhubungan, mempengaruhi, antarhubungan[1].  Sedangkan definisi dari simbol adalah sebagai lambang, menjadi lambang, mengenai lambang (2001: 1066).Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982) menyatakan bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial- psikologis, yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis.Esensi dari interaksi simbolik itu sendiri merupakan suatu aktivitas komunikasi yang menjadi ciri khas manusia dengan simbol yang memiliki makna tertentu. (Mulyana, 2003: 59) Secara sederhana, interaksionisme simbolik dapat dimaknai sebagai suatu hubungan timbal balik antarpersonal dengan menggunakan simbol- simbol tertentu yang sudah dimafhumi artinya.





Ø  PERKEMBANGAN THEORY
Interaksionisme simbolik berkembang pada abad 19-20 di Chicago, mead merupakan cikal bakal muncul nya teori interksionisme simbolik dengan pemikiran nya “the teorethical pperspective. Teori berfokus pada tindakan dan makna dalam masyarakat. Setelah memperoleh suatu makna, manusia akan bertindak sesuai dengan makna tersebut, contoh nya adalah, dalam perkembangan individu manusia yang dominan di pengaruhi oleh lingkungan, karna cikal bakal pemikiran yang lahir adalah ketika individu melihat suatu sikap atau perilaku yang ada dalam ruang lingkup tersebut dan akan mempengaruhi pribadi atau tingkah laku yang akan menjadi karakter pada individu tersebut.



MIDDLE RANGE THEORY
Middle-range theory dikemukakan oleh sosiolog amerika Robert Merton dalam ‘Social theory and social Structure’ (1957) untuk menghubungkan pemisah diantara hipotesis-hipotesis terbatas dari studi empirisme dan teori-teori besar yang abstrak yang diciptakan Talcott Parson. Dia menjelaskan middle-range theory sebagai teori yang berbohong diantara minor-minor tapi diperlukan hipotesis yang berkembang dalam keadaan yang berlimpah dalam penelitian selama berhari-hari hingga diperlukan usaha-usaha sistematis untuk mengembangkan teori gabungan yang akan menjelaskan seluruh penelitian yang seragam dari perilaku sosial, organisasi dan perubahan sosial. Banyak konsep tang dikembangkan dari mid-range theories telah menjadi bagian dari kosakata dasar sosiologi : retreatisme, ritualisme, manifest dan latent functions, opportunity structure, paradigma, reference group, role-sets, self-fulfilling propechy dan unintended concequence. Pemikira middle-range theory secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi pandangan  sosiolog atas pekerjaan mereka.
Mid-range theory disepakati sebagai suatu bidang yang relatif luas dari suatu fenomena, tapi tidak membahas keseluruhan fenomena dan sangat memperhatikan kedisiplinan (Chinn and Kramer, 1995, p 216).
Beberapa mid-range theories didasari oleh grand theories. Hal ini ditegaskan pernyataan Smith (1994), bahwa fungsi utama grand theories adalah sebagai sumber utama yang selanjutnya akan dikembangkan oleh middle-range theories


*      TEORI PEMIKIRAN KELOMPOK
Teori Pemikiran Kelompok (groupthink) lahir dari penelitian panjang Irvin L Janis. Janis menggunakan istilah groupthink untuk menunjukkan satu mode berpikir sekelompok orang yang sifat kohesif (terpadu), ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat. Untuk mencapai kebulatan suara klompok ini mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Grouptink dapat didefinisikan sebagai suatu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan timbulnya kemerosotan efesiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok (Mulyana, 1999).
West dan Turner (2008: 274) mendefinisikan bahwa pemikiran kelompok (groupthink) sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan mereka akan kesepakatan melampaui motivasi mereka untuk menilai semua rencana tindakan yang ada. Jadi groupthink merupakan proses pengambilan keputusan yang terjadi pada kelompok yang sangat kohesif, dimana anggota-anggota berusaha mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya tidak efektif lagi. Groupthink merupakan teori yang diasosiasikan dengan komunikasi kelompok kecil. Lahirnya konsep groupthink didorong oleh kajian secara mendalam mengenai komunikasi kelompok yang telah dikembangkan oleh Raimond Cattel (Santoso & Setiansah, 2010:66). Melalui penelitiannya, ia memfokuskannya pada keperibadian kelompok sebagai tahap awal..

NARROW THEORY
Teori yang berusaha menjelaskan suatu aspek yang terbatas dari suatu fenomena seperti komunikasi.  Atau lebih menekankan pada orang-orang tertentu pada situasi tertentu pula. Kita tidak bisa mengelola untuk mendapatkan informasi di internet tentang teori ini, sehingga dari pemahaman kita, sebuah teori yang sempit adalah teori yang digunakan dan diterima oleh sekelompok kecil orang dan penjelasannya cukup sempit, teori ini juga menjelaskan pandangan pribadi dan pengalaman.
Narrow teori menitikberatkan pada orang-orang tertentu pada waktutertentu.Mis : aturan-aturan komunikasi dalam sebuah konflik umum.Ada beberapa konflik misalnya dalam sebuah stand point theoryharapan bahwa koreksi tentang sebab perempuan harus dimodifikasidengan menghubungkan pada tingkatan dan rasContoh: aturan2 komunikasi yang relevan ketika kita ada di dalam sebuah lift.



·         TEORI PENETRASI SOSIAL
Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam bahasa Altman dan Taylor: penetrasi sosial.
Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa terbuka dalam urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan pengalaman di masa lalu. Atau yang lainnya.
Karena hanya ada satu area saja yang terbuka bagi orang lain (misalkan urusan asmara tadi), maka hal ini menggambarkan situasi di mana hubungan mungkin bersifat mendalam akan tetapi tidak meluas (depth without breadth). Dan kebalikannya, luas tapi tidak mendalam (breadth without depth) mungkin ibarat hubungan “halo, apakabar?”, suatu hubungan yang biasa-biasa saja. Hubungan yang intim adalah di mana meliputi keduanya, dalam dan juga luas.
Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis). Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.