TEORI KOMUNIKASI DALAM KONTEKS "GROUP DECISION MAKING"
Adaptive
Structuration Theory
Adaptive
Penstrukturan Teori (AST) adalah salah satu dari tiga teori komunikasi
kelompok. Hal ini
terinspirasi oleh konsep Anthony Giddens tentang strukturasi. AST dikembangkan oleh M. Scott Poole berdasarkan pada karya
Giddens, Robert McPhee, dan David Seibold. Poole
mengambil pendekatan kritis untuk model linear komunikasi dan menetapkan bahwa
dinamika kelompok terlalu rumit untuk dikurangi beberapa proposisi atau rantai
diprediksi peristiwa. Poole percaya bahwa
anggota kelompok mempengaruhi hasil dan panggilan adaptif teorinya karena ia
berpikir bahwa anggota kelompok sengaja beradaptasi aturan dan sumber daya
untuk mencapai tujuan. AST adalah sebuah
pendekatan untuk mempelajari peran teknologi informasi canggih dalam perubahan
organisasi. Teori ini berusaha untuk memahami
jenis struktur yang disediakan oleh teknologi canggih dan struktur yang
benar-benar muncul dalam tindakan manusia sebagai orang berinteraksi dengan
teknologi ini.
Latar Belakang Teori
Adalah Marshall
Scott Poole yang mengembangkan Teori Strukturasi adaptif (Adaptive
Structuration Theory). Profesor komunikasi pada Texas A&M University
itu dikenal sebagai pakar di bidang komunikasi kelompok dan komunikasi
organisasi, terutama pada sisi metodologi penelitian dan perkembangan teori.
Poole mengembangkan teori ini bersama rekan-rekannya, yaitu Robert McPhee dari
Arizona State University dan David Seibold dari The University California.
Gagasan Poole
berangkat dari teori strukturasi yang dikemukakan Anthony Giddens. Dalam
penelitiannya, Gidden mendeskripsikan bagaimana institusi sosial—kelompok dan
organisasi, misalnya—diproduksi, direproduksi, dan ditransformasi melalui
penggunaan aturan-aturan sosial. Aturan itu dibuat sebagai panduan perilaku
anggotanya, sebagaimana cetak biru yang digunakan untuk mengarahkan seorang
kontraktor dalam membangun struktur bangunan (West & Turner, 2007:296).
Kunci dari memahami komunikasi yang terjadi dalam sebuah kelompok atau
organisasi, menurut Gidden, adalah dengan mempelajari struktur yang menjadi
fondasi mereka. Gidden membedakan pengertian sistem dan struktur. Sistem adalah
kelompok itu sendiri, termasuk juga perilaku yang dilaksanakannya, Sementara
struktur adalah aturan-aturan yang mereka sepakati. Dalam contoh di atas,
sistem adalah kelompok Rukun Tangga (RT), sedangkan aturan berupa tata tertib
warga adalah strukturnya.
Teori ini
mengambil nama ‘Strukturasi Adaptif’, karena anggota kelompok secara sengaja
meyesuaikan aturan dan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Selain itu,
strukturasi adalah sesuatu yang lebih kompleks daripada model urutan tunggal.
Poole percaya bahwa nilai dari pembuatan teori keputusan kelompok bergantung
pada seberapa baik ia mengalamatkan kekomplekskan interaksi yang ada dalam
sebuah kelompok.
Teori poole menjelaskan inti yang
dibahasnya dengan sinopsis bahwa anggota-anggota di kelompok-kelompok membentuk
kelompok mereka sesuai dengan tindakan mereka di dalamnya. Berkali-kali orang
membangun struktur atau rencana yang tidak nyaman bagi mereka tetapi mereka
tidak sadar bahwa mereka yang membuatnya. Pertanyaan mendasarnya adalah (1)
apakah keadaan ini dapat berubah, dan (2) apakah anggota kelompok benar-benar
diberikan kebebasan untuk membuat keputusan, ataukah ada aturan yang membatasi
kebebasan itu? Pertanyaan pertama berhubungan dengan stability versus change.
Sedangkan pertanyaan kedua berkaitan dengan free choice atau determined
behavior. Inti adaptive structuration theory adalah membuat orang-orang itu
menyadari aturan dan sumber-sumber daya yang mereka gunakan supaya mereka
memiliki kontrol lebih akan apa yang mereka lakukan di dalam kelompok.
Perubahan dalam suatu kelompok bisa terjadi hanya jika orang-orang di dalamnya
sadar tentang tindakan mereka dalam kelompok ini kemudian melakukan sesuatu
untuk mengubahnya.
Phasing Out The Phase Model
Sekelompok kecil peneliti di abad ke-20
percaya bahwa ada suatu pola komunikasi universal yang digunakan semua
kelompok. Pola itu terdiri atas fase-fase, yaitu:
orientation—usaha yang tidak fokus karena kelompok belum memiliki tujuan yang jelas, hubungan di dalamnya tidak jelas Karena individu-individu di dalamnya belum saling mengenal dan para anggota butuh lebih banyak informasi.
orientation—usaha yang tidak fokus karena kelompok belum memiliki tujuan yang jelas, hubungan di dalamnya tidak jelas Karena individu-individu di dalamnya belum saling mengenal dan para anggota butuh lebih banyak informasi.
conflict—ada perbedaan
pendapat mengenai pendekatan masalah yang digunakan dan saling berargumentasi
tentang pandangan mereka akan sesuatu, para anggota saling membenarkan posisi
mereka.
coalescence—ketegangan
diredukasi melalui negoisasi yang damai, para anggota mengadopsi solusi yang
diterima semua anggota.
development—kelompok
berkonsentrasi pada cara pelaksanaan satu solusi, para anggota terlibat dan
mereka senang akan keterlibatan itu.
integration—kelompok fokus
pada ‘tension-free solidarity’, bukan pada tugas, para anggota saling
menghargai sebagai usaha untuk membentuk persatuan kelompok.
Namun Poole tidak yakin dengan
fase-fase ini. Ia berpikir bahwa suatu proses pengambilan keputusan, sangat
tergantung pada jika (if) dan kapan (when). Artinya, dalam situasi yang
berbeda, proses pengambilan keputusan dalam kelompok juga akan berbeda. Ia
beranggapan kompleksitas kelompok terlalu tinggi untuk direduksi untuk sekadar
memprediksi urutan pengambilan keputusan yang spesifik. Poole berpikir bahwa
para anggota kelompok dipengaruhi oleh struktur sosial seperti komposisi
kelompok, jaringan komunikasi, hierarki status, syarat-syarat kerja, norma
kelompok, dan tekanan peer. Karenanya, Poole melihat teori Giddens tentang
orang dalam masyarakat sebagai ‘active agents’, sangat menarik. Bahwa setiap
orang dapat bertindak dan memiliki kapasitas untuk membuat perbedaan. Poole
melihat padangan Giddens ini bisa diadaptasi pada jenjang mikro dalam aktivitas
kelompok kecil.
Structuration Menurut Giddens
Structuration mengacu pada “produksi
dan reproduksi sistem sosial melalui penggunaan aturan dan sumber daya yang
ada”. Giddens menggunakan kata interaction untuk merepresentasikan kepercayaannya
bahwa orang relatif bebas bertindak seperti yang mereka inginkan. Aturan
(rules) digunakan secara implisit sebagai resep untuk terus memperbaiki
kehidupan. Sumber daya (resources) mengacu pada sifat-sifat, kemampuan,
pengetahuan, dan hal-hal yang dimiliki setiap individu di dalamnya. Karena
aturan dan sumber daya senantiasa berubah, structuration adalah suatu proses
yang terus mengalir. Produksi sistem sosial berhubungan dengan ‘membuat
realitas sosial’. Reproduksi adalah mempertahankan status quo bagi apa yang
sudah ada sebelumnya.
Ini adalah inti dari teori Poole.
Disebut adaptive structuration karena dia mengadaptasi teori strukturasi
Giddens dari jejang makro, ke dalam jenjang mikro dalam kelompok kecil. Ia
melihat bahwa kelompok, secara sengaja, menyesuaikan aturan dan sumber daya
untuk mencapai tujuan mereka, di mana tiap-tiap individu punya kebebasan
memilih dan turut andil dalam menghasilkan suatu perubahan.
Interaksi—Kepedulian
akan Moralitas, Komunikasi, dan Kekuatan
Group structuration dibentuk oleh tindakan para anggotanya. Jika aturan dan sumber daya dalam suatu kelompok berubah, itu karena para anggotanya melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Setiap anggota dalam kelompok, membawa moralitas, komunikasi, dan kekuatan ketika ia mengajukan pendapatnya dalam forum. Menurut Poole, ketiganya bersatu dalam setiap kegiatan kelompok. Ia mengatakan bahwa sulit menggunakan moral tanpa mempertimbangkan interpretasi—masalah makna―dan bagaimana mereka dibuat untuk diperhatikan―masalah kekuatan.
Group structuration dibentuk oleh tindakan para anggotanya. Jika aturan dan sumber daya dalam suatu kelompok berubah, itu karena para anggotanya melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Setiap anggota dalam kelompok, membawa moralitas, komunikasi, dan kekuatan ketika ia mengajukan pendapatnya dalam forum. Menurut Poole, ketiganya bersatu dalam setiap kegiatan kelompok. Ia mengatakan bahwa sulit menggunakan moral tanpa mempertimbangkan interpretasi—masalah makna―dan bagaimana mereka dibuat untuk diperhatikan―masalah kekuatan.
Penggunaan dan
Penyalahgunaan Aturan dan Sumber Daya;Menurut Poole, rules adalah dalil yang
mengindikasikan sesuatu harus dilakukan atau masalah apa yang baik dan buruk.
Resources adalah material, yang dimiliki, atau perlengkapan yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi atau mengontrol tindakan kelompok atau anggotanya.
Di dalam proses pengambilan keputusan,
setiap kelompok mempunyai aturan main sendiri. Sebagian mengambil aturan
pengambilan keputusan yang digunakan oleh organisasi formal yang terkenal
seperti mekanisme voting di DPR. Ini disebut appropriation. Ini adalah salah
satu bagian dari aturan yang digunakan. Namun terkadang aturan ini tidak murni
digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Aturan yang digunakan bisa
merupakan gabungan atau modifikasi dari dua atau lebih aturan yang diajukan.
Penyalahgunaan aturan terjadi ketika
satu atau lebih individu dalam suatu kelompok ‘memanfaatkan’ rules atau
resources yang dimiliki untuk mencapai tujuannya sendiri yang terkadang tidk
ada sangkut pautnya dengan tujuan kelompok. Di dalam forum, setiap individu
berusaha menggunakan kemampuan, kecerdasan, pengalaman, atau apapun yang mereka
miliki, untuk mempengaruhi hasil akhir. Meskipun beberapa orang justru tidak
menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Sebagian orang akan mendominasi
forum sehingga bisa saja keputusan akhir yang nantinya diambil, lebih bersifat
politis daripada rasional.
Menyelidiki Penggunaan Aturan dan
Sumber Daya
Berkaitan dengan pengamatan tentang
bagaimana penggunaan aturan dalam suatu kelompok. Ketika suatu aturan atau cara
dipakai, selalu ada alasan di baliknya. Ada tujuan atau idealisme yang ingin
dipertahankan atau diwujudkan. Ada nilai-nilai tertentu di balik penggunaan
aturan itu. Begitu juga sumber daya. Apakah suatu kelompok atau
individu-individu di dalamnya memanfaatkan segala fasilitas, kemampuan, atau
pengetahuan yang dimiliki. Ada individu yang menggunakan sumber daya secara
tidak tepat sehingga hasilnya jauh dari maksimal, atau sebaliknya.
Produksi Perubahan, Reproduksi Stabilitas
Selain membahas proses dalam kelompok,
di sini akan dibahas juga mengenai produk yang diproduksi dan direproduksi
melalui interaksi. Jika Poole membahas apa dan bagaimana membuat suatu
keputusan, ia akan bilang bahwa produk akhirnya adalah produksi dan reproduksi.
Jika keputusan yang diambil berbeda dengan keputusan yang sudah ada sebelumnya,
kelompok itu sedang memproduksi perubahan. Sebaliknya, jika keputusannya sama
dengan yang sudah ada sebelumnya, stabilitaslah yang diproduksi (terjadi reproduksi).
Duality of Structure
Poole lebih penasaran lagi untuk
mengetahui pengaruh proses structuration terhadap rules dan resources dalam
kelompok. Dan ia percaya bahwa konsep duality of structure dari Giddens adalah
kunci untuk menemukan pengaruh itu. Duality structure melihat bahwa rules dan
resources adalah medium dan outcome. Dalam proses pengambilan keputusan,
artinya, pembuatan keputusan tidak hanya dipengaruhi rules dan resources tapi
juga mempengaruhi rules dan resources.
Stabilitas dan perubahan adalah produk
dari proses yang sama. Struktur stabil jika pelaku di dalamnya membuatnya
begitu, dan mempertahankan sistemnya berkali-kali. Struktur juga bisa berubah
dengan prosedur yang sesuai rules dan resources yang ada. Meskipun demikian,
tidak ada kelompok yang benar-benar stabil―dalam arti terus-menerus
mereproduksi status quo. Setiap kelompok selalu menginginkan sedikit change
atau dinamika dalam interaksi di dalam kelompoknya.
Esensi Teori
West dan Turner
(2007:299) menggaris bawahi tiga asumsi pokok teori strukturasi adaptif, yaitu:
1. Kelompok dan organisasi
diproduksi dan direproduksi melalui penggunaan aturan dan sumber daya.
2. Aturan komunikasi berfungsi
baik sebagai sebagai medium maupun hasil akhir dari interaksi.
3. Strukturasi kekuasaan ada di
dalam organisasi dan menuntut proses pengambilan keputusan dengan menyediakan
informasi mengenai bagaimana cara untuk mencapai tujuan kita dengan cara yang
terbaik.
Poole
menekankan pentingnya memahami bahwa individu menciptakan dan membentuk kelompok
sebagaimana mereka berperilaku di dalamnya. Perilaku anggota kelompok, seperti
dikatakan Giddens, dipengaruhi oleh tiga elemen tindakan yaitu interpretasi,
moralitas, dan kekuasaan. Interpretasi dilakukan melalui bahasa, moralitas
didirikan melalui norma kelompok, dan kekuasaan diraih melalui struktur
kekuasaan interpersonal yang timbul dalam kelompok. Menurut Poole, interaksi
selalu menyangkut ketiga hal tersebut. Poole mengasumsikan bahwa anggota
kelompok adalah aktor yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang secara
refleksif mengontrol aktivitas mereka. Moralitas, interpretasi, dan kekuasan
selalu dikombinasikan dalam setiap tindakan kelompok. Konstribusi tiga elemen
tindakan tersebut sangat menarik sebagai awal bagi kita memahami proses yag dilalui
oleh kelompok saat mereka membuat suatu keputusan.
Berdasarkan
pernyataan Poole dan rekan-rekan megenai teori ini dapat dikatakan bahwa esensi
teori ini adalah : kelompok-kelompok dapat mengikuti rangkaian atau urutan yang
bervariasi dalam perkembangan keputusan, bergantung pada
kemungkinan-kemungkinan yang mereka hadapi.
Sebelum Poole
mencetuskan teorinya, para peneliti berpikir bahwa mereka telah
mengidentifikasi pola universal untuk pengambilan keputusan di kelompok kecil.
Pola ini dikenal juga dengan nama model urutan tunggal (a single sequence
model) yang terdiri dari :
1. Orientasi (orientation);
usaha-usaha tidak terfokus karena tujuan belum jelas
2. Konflik (conflict);
orang-orang tidak setuju pada pendekatan terhadap masalah
3. Penggabungan (coalescence);
ketegangan dikurangi melalui negosiasi damai
4.Pembangunan (Development);
kelompok berkonsentrasi pada cara untuk mengimplementasikan solusi tunggal
5. Integrasi (integration),
kelompok berfokus pada ketegangan – solidaritas bebas daripada tugas.
Marshall Poole
tidak dapat menerima model urutan tunggal ini. Menurutnya dinamika kelompok
merupakan hal yang sangat rumit dan tidak dapat disederhanakan ke dalam satu
rangkaian proposisi atau rangkaian peristiwa tunggal terprediksi. Pembuatan
keputusan kelompok adalah proses di mana anggota-anggota kelompok berusaha
untuk mencapai persetujuan pada keputusan terakhir. Individu mengeluarkan opini
dan preferensi dan dengannya memproduksi atau mereproduksi aturan tertentu di
mana persetujuan bisa dicapai atau dihadang. Dalam membuat keputusan tersebut,
menurutnya kelompok-kelompok terkadang mengikuti prosedur terprediksi, namun
terkadang mereka tidak sistematik, dan terkadang juga mereka mengembangkan
suatu jalur atau urutan sendiri dalam rangka merespon suatu kebutuhan unik yang
mereka hadapi. Hal Ini tidak dapat terlepas dari tiga variabel yang
mempengaruhi bagaimana kelompok beroperasi, yaitu :
1. Objective task
characteristics; yakni menyangkut jenis permasalahan, kejelasan masalah,
jenis keahlian yang diperlukan, dampak dari permasalahan, dan nilai-nilai yang
terkandung dalam permasalahan tersebut.
2. Group task characteristics;
yakni menyangkut pengalaman terdahulu kelompok terhadap masalah tersebut, dan
tingkat urgensi keputusan.
3. Group structural characteristic;
yakni menyangkut kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, serta distribusi
kekuasaan.
Sesua dengan
tesis Giddens, Poole menegaskan bahwa anggota kelompok adalah agen aktif.
Strukturasi adalah produksi dan reproduksi sistem sosial melalui penggunaan
aturan-aturan dan sumberdaya oleh anggota dalam interaksi. Interaksi dalam
teori tersebut itu adalah tindakan yang didasarkan pada kehendak bebas.
Sedangkan aturan adalah proposisi yang membuat keputusan bernilai atau
menunjukkan bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan. Sementara sumberdaya adalah
material-material, barang milik, dan karakter yang dapat digunakan untuk
mempengaruhi atau mengendalikan tindakan kelompok atau anggotanya. Produksi
terjadi ketika anggota kelompok menggunakan aturan-aturan dan sumberdaya dalam
interaksi, sementara itu reproduksi terjadi ketika fitur penguatan tindakan
dari sistem sudah ada di tempat.
Dalam
penelitian yang ia lakukan bersama rekan-rekannya, Poole menemukan secara umum
ada tiga jenis rangkaian keputusan, yaitu :
1. A Standard Unitary Sequence (rangkaian standar tunggal); ini serupa dengan model urutan tunggal.
2. Complex Cylic
Sequence (rangkaian putaran kompleks);
kelompok akan melihat kedepan maupun ke belakang dalam rangka mencari kejelasan
masalah dan mengasilkan solusi yang tepat.
3. Solution Oriented Sequence (rangkaian orientasi solusi);
pada rangkaian ini tidak dilakukan analisis
masalah secara mendalam, fokus diletakkan pada solusi ke depan.
Selanjutnya, dalam jalur keputusan yang dilalui oleh
kelompok, terdapat tiga jalur aktivitas, atau bagian yang dikembangkan dan dilakukan oleh kelompok di sepanjang
rangkaian, yaitu :
1. Task – process – track;
berkaitan dengan tugas, misalnya analisis masalah dan merancang solusi.
2. Relational track;
berkaitan dengan hubungan interpersonal, misalnya ketidaksetujuan dan
kesepakatan.
3. Topic – focus track;
sebuah seri dari isu atau keprihatinan yang dimiliki kelompok saat itu.
Proses kelompok terjadi pada
jalur-jalur tersebut, dan selama proses berlangsung terjadi perpindahan jalur,
serta terdapat transisi atau titik berhenti (breakpoint) saat
perpindahan dari satu jalur ke jalur lainnya. Breakpoint merupakan hal
yang sangat penting karena menandakan point kunci dalam perkembangan
aktivitas pembuatan keputusan kelompok. Ada tiga jenis breakpoint yaitu :
1. Normal breakpoint;
transisi ini diharapkan dan terduga. Titik ini mencakup istirahat, dan
pergantian topik.
2. Delays; yakni masalah
yang tidak terduga yang menyebabkan jeda dalam fungsi normal kelompok. Delay
termasuk pendiskusian kembali isu-isu yang diperlukan kelompok untuk memecahkan
konflik atau mengusahakan kesepahaman. Delay dapat menandakan adanya kesulitan
dalam proses pengambilan keputusan, namun juga bisa menjadi tanda positif yang
menunjukkan kehati-hatian dalam berpikir atau aktivitas kreatif.
3. Disruption;
tingkatannya lebih serius, mencakup ketidaksetujuan dalam skala besar dan
kegagalan kelompok (Littlejohn, 1996:297)
Gambar yang disajikan di halaman
berikut, merupakan gambaran dari rangkaian, jalur dan breakpoint dalam proses
pembuatan keputusan kelompok (Littlejohn, 1996:298)
Functional Perspective on Group
Decision Making
Functional
Perspective on Group Decision Making merupakan sebuah teori komunikasi kelompok
yang memperlihatkan bagaimana proses pembuatan keputusan terjadi. Dalam
kehidupan bermasyarakat dan terlebih dalam kehidupan organisasi, hampir
dipastikan kita selalu menghadapi permasalahan yang harus dipecahkan. Dinamika
pembuatan keputusan dalam sebuah kelompok tidak dapat dilepaskan dari persoalan
komunikasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa pembuatan keputusan adalah komunikasi
itu sendiri.
Kami mempercayai bahwa
gagasan ini sangat penting. Bagi pembuat kebijakan, para manager, praktisi,
mahasiswa yang sedang mempelajari proses-proses pembuatan keputusan, teori ini
memberi cukup pemahaman mendasar terhadap proses tersebut. Semoga tulisan ini
yang disarikan dari chapter 15 buku: Em Griffin, 2002, A First Look At
Communication Theory, Boston: McGrawHill dapat membantu kepentingan dan
kebutuhan pengetahuan Anda tentang pembuatan keputusan.
http://www.referensipintar.com/jurnal/2016/9/16/9/0/Functional-Perspective-on-Group-Decision-Making.html
Functional
Perspective on Group Decision Making (Randy Hirokawa dan Dennis Gouran): Sebuah
Review
Disarikan dari E.M.
Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition
Seringkali
suatu kelompok mendiskusikan sesuatu untuk menghasilkan suatu keputusan. Dengan
mengasumsikan bahwa seluruh anggota dalam kelompok itu peduli terhadap topik
pembicaraan, masing-masing memiliki kecerdasan khas, dan tengah menghadapi
suatu tugas yang menuntut lebih banyak fakta, ide-ide baru, atau pemikiran yang
jernih, Hirokawa dan Gouran yakin bahwa interaksi dalam kelompok punya dampak
positif atas pembuatan keputusan (decision making). Hirokawa membahas solusi
kualitas (quality). Sedangkan Gouran membahas keputusan yang tepat
(appropriate).
Empat Fungsi untuk
Decision Making yang Efektif
Hirokawa dan Gouran
menganalogikan kelompok-kelompok kecil sebagai sistem biologi. Masing-masing
memiliki fungsi tersendiri. Agar suatu sistem dapat menjalankan fungsinya
denang baik, diperlukan suatu jalur atau cara. Hirokawa dan Gouran melihat
proses decision making dalam suatu kelompok perlu memenuhi 4 syarat untuk
mengahasilkan solusi atau keputusan high-quality. Mereka menyebutnya sebagai
requisite functions (fungsi-fungsi yang diperlukan) dalam proses decision making,
yang terdiri atas:
1. Analisis masalah
Ketika
sebuah pertanyaan muncul, ‘apakah kita membutuhkan perbaikan atau perubahan?’
yang harus kita lakukan sebelum menjawabnya adalah melihat realitas yang sedang
terjadi. Sedikit saja ada pemahaman yang keliru tentang situasi yang tengah
terjadi, akan mempengaruhi keputusan final. Menurut Hirokawa, contoh jelas
tentang analisis yang salah adalah gagal mengenali sebuah ancaman yang
potensial ketika ancaman itu benar-benar eksis. Setelah orang mengetahui apa yang
dibutuhkan, mereka harus menemukan sifat-sifat, tingkatan, dan apa saja
penyebab masalah itu.
2. Merumuskan tujuan
Sebuah
kelompok harus sadar apa yang ingin mereka raih dalam kelompok itu. Karenanya,
kelompok harus membangun kriteria untuk menilai alternatif solusi yang
ditawarkan. Jika kelompok gagal memenuhi syarat ini, sepertinya keputusan yang
diambil akan lebih dikendalikan oleh politik dan kekuasaan dari suatu pihak,
daripada alasan yang rasional.
3. Identifikasi
alternatif-alternatif yang mungkin ada
Hirokawa
dan Gouran menekankan pentingnya menyusun solusi-solusi alternatif yang bisa
dipilih anggota kelompok. Menurut mereka, jika tidak ada anggota yang
menawarkan solusi alternatif yang mungkin digunakan, maka solusi yang
ditawarkan relatif sedikit, dan kemungkinan menemukan jawaban yang tepat dan
dapat diterima, juga rendah.
4. Mengevaluasi
karakteristik-karakteristik positif dan negatif
Setelah
mengidentifikasi solusi-solusi alternatif, peserta diskusi harus ‘mengetes’
kebaikan-kebaikan relatif dari tiap-tiap pilihan dengan kriteria-kriteria yang
penting menurut kelompok. Perbandingan ini tidak terjadi secara otomatis. Di
dalam setiap kelompok, perlu ada individu-individu yang mampu mengingatkan
kelompok tentang sisi positif dan negatif dari setiap alternatif yang diajukan.
Memprioritaskan
The Functions
Berarti
menentukan mana yang paling penting dari keempat fungsi di atas. Meskipun
Hirokawa dan Gouran sendiri telah berkali-kali menjelaskan dalam tulisannya
bahwa itu bukan topik yang perlu didiskusikan dan menyatakan bahwa keempatnya
perlu dicapai untuk memaksimalkan kemungkinan menghasilkan high-quality
decision. Namun Hirokawa menambahkan bahwa kelomppok-kelompok yang sukses
mengatasi masalah sulit tertentu seringkali mengambil langkah pengambilan
keputusan yang biasa mereka gunakan. Dalam menyelesaikan beberapa masalah,
tidak semua functions di atas dipakai.
Peran
Komunikasi dalam Memenuhi The Functions
Hirokawa
percaya bahwa komunikasi memiliki peranan yang sangat aktif dalam menentukan
kualitas suatu keputusan. Ia menganggap bahwa diskusi kelompok adalah instrumen
yang digunakan untuk menciptakan realitas sosial dalam hal keputusan itu
dibuat. Diskusi membuat pengaruh yang kuat pada hasil akhir dari suatu
kelompok.
Gouran
dan Hirokawa menyebutkan beberapa rintangan yang sulit dalam proses pengambilan
keputusan, yaitu mengabaikan masalah, fakta-fakta yang salah, asumsi dengan
pedoman yang salah, kesimpulan yang tidak logis, berdasar pada pengaruh anggota
kelompok yang berkuasa, dsb. Keduanya percaya, melalui pembicaraan (talk)
kelompok bisa tersesat. Namun mereka juga percaya bahwa komunikasi memiliki
kekuatan untuk menarik kelompok kembali pada jalur tujuan semula.
Karena
keyakinan itulah, Hirokawa dan Gouran menyebutkan tiga tipe komunikasi dalam
decision-making suatu kelompok, yaitu
1. Promotive , yaitu
interaksi yang menggerakkan kelompok sepanjang jalur tujuan dengan mencoba
memusatkan perhatian kepada salah satu dari empat fungsi decision-making.
Tiap-tiap individu berperan aktif dan konstruktif dalam diskusi kelompok.
2. Disruptive , yaitu
interaksi yang mengalihkan, memperlambat, atau menghalangi kemampuan anggota
kelompok untuk mencapai keempat fungsi tadi.
3. Counteractive, yaitu
interaksi yang para anggotanya biasa mengembalikan kelompoknya ke jalur yang
seharusnya. Cara ini memang dapat membendung penyimpangan-penyimpangan dalam
interaksi kelompok. Namun cara ini juga berkemungkinan menghalangi lahirnya suatu
alternative decision yang tepat dan dapat diterima.
Dari
Kolam Kecil menjadi Samudera Luas
Hirokawa
membawa teorinya pada penelitian terkontrol yang dilakukannya pada suatu
kelompok mahasiswa. Kemudian ia membandingkan rating FOICS setiap kelompok dengan
kualitas keputusan yang diambil, dengan mengacu pada guru administrator yang
telah berpengalaman di bidang yang diteliti Hirokawa. Setelah melakukan 12 kali
penelitian empiris functional perspective, ia menemukan bahwa teorinya mampu
menghitung lebih dari 60 persen dari variasi total pelaksanaan dalam kelompok.
Maksudnya, ketika ada pertanyaan ‘sebaik apa suatu kelompok memenuhi keempat
requisite functions?’ dengan melihat seluruh proses diskusi, maka kita akan
memenangkan 60 persen waktu.
Kemudian
Hirokawa meninggalkan laboratorium dan mulai menguji teorinya di lapangan,
suatu kelompok paramedis yang menangani pasien, dan dalam mengambil keputusan,
menggunakan teori Hiorokawa . Hasil yang diperoleh ternyata, jika keempat
fungsi digunakan sesuai teorinya, keadaan pasien justru semakin buruk. Akhirnya
Hirokawa menyimpulkan bahwa teorinya tidak menuntun pada keputusan yang
berhasil. Keputusan yang diperoleh lewat keempat functions tersebut, mungkin,
adalah keputusan yang ideal dan dinilai standar. Namun keputusan ideal itu
belum tentu berhasil jika diterapkan di kehidupan nyata.
Gouran
dan Hirokawa
Selama
awal abad ke-20, John Dewey mengembangkan metode untuk menggambarkan proses
bahwa seseorang harus melalui saat mereka bekerja pada pemecahan masalah. Pada tahun
1910, pada bukunya, Bagaimana Kita Pikirkan, Dewey mengemukakan bahwa proses
berpikir reflektif melibatkan lima langkah: (1) kesulitan dalam merasa, (2)
lokasi dan definisi, (3) usulan kemungkinan solusi, (4) pengembangan penalaran
dan konsekuensi dari solusi, dan (5) pengamatan lebih lanjut dari percobaan
yang mengarah pada penerimaan atau penolakan.
Pengaruh
kedua pada pengembangan teori ini adalah karya Robert Bales. Bales dan
rekan-rekannya bekerja pada kemampuan anggota kelompok untuk menangani empat
masalah fungsional: adaptasi, kontrol instrumental, ekspresi, dan integrasi.
Adaptasi dan kontrol instrumen berhubungan dengan pengelolaan pembuatan
keputusan, sedangkan ekspresi dan integrasi berkaitan dengan manajemen
pengelolaan hubungan. Kelompok berusaha untuk menjaga keseimbangan dalam kedua
masalah ini dan komunikasi kelompok merupakan sarana utama mempertahankan
keseimbangan itu.
Pengaruh
ketiga pada pengembangan teori fungsional dari pengambilan keputusan yang
efektif adalah karya Irving Janis pada pengambilan keputusan yang hati-hati.
Kelompok ini melakukan (a) survei kemungkinan alternatif solusi, (b) survei
tujuan yang akan dicapai, (c) memeriksa risiko dan manfaat yang terkait dengan
alternatif, (d) melakukan pencarian informasi, (e) memproses informasi, (f)
mengira-ngira alternatif risiko dan manfaatnya sebelum membuat pilihan akhir,
dan (g) menyusun rencana untuk menerapkan pilihan yang diinginkan bersama.
Di
ketiga pengaruh tersebut, sifat fungsional komunikasi adalah fokus, dengan kata
lain, komunikasi adalah tujuan untuk mencapai beberapa tujuan. Dalam metode
pemikiran reflektif Dewey, komunikasi adalah fungsional karena bila diterapkan
pada diskusi kelompok memungkinkan kelompok untuk mencapai resolusi efektif
dari masalah. Dalam pendapat Bales, komunikasi ada untuk mengaktifkan kelompok
itu sendiri. Sedangkan, bagi Janis, komunikasi bersifat fungsional karena itu
ada sarana untuk mencapai anggota kelompok agar memenuhi setiap karakteristik
kewaspadaan.
Teori
fungsional dari keputusan kelompok yang efektif bersandar pada asumsi bahwa
efektivitas pengambilan keputusan tidak terpengaruh oleh produksi perilaku
komunikatif tertentu, tetapi harus memenuhi suatu persyaratan. Persyaratan ini
disebut oleh Gouran dan Hirokawa pada tahun 1983 sebagai syarat fungsional.
Untuk membuat keputusan
yang efektif, kelompok tersebut harus melakukan hal-hal berikut ini:
Memahami masalah dengan
berbagai pertimbangan.
Menentukan
karakteristik agar suatu jawaban dapat diterima.
Menyusun berbagai
alternatif yang realistis di antaranya jawaban yang telah diterima.
Kritis memeriksa setiap
alternatif yang digunakan untuk menentukan jawaban.
Memilih alternatif yang
terbaik sesuai dengan karakteristik dari suatu jawaban.
Stohl dan Holmes
mengusulkan perpanjangan dengan menyarankan memahami masa lalu, kini, dan masa
depan untuk memahami hubungan kelompok itu dengan lingkungannya.
Gouran dan Hirokawa
juga mengajukan revisi dalam Buku Pengambilan Keputusan, Komunikasi dan
Kelompok. Dalam identifikasi ini ada pengakuan akan pentingnya dimensi
relasional kelompok dalam membuat keputusan yang efektif. Di antaranya adalah
faktor-faktor afiliatif (kekhawatiran terhadap hubungan kelompok), kognitif
(pengolahan informasi yang terhambat), dan egosentris (motivasi personal yang
mendominasi).
1900-an: John Dewey
mengembangkan metode untuk menggambarkan proses bahwa seseorang harus melalui
saat mereka bekerja pada pemecahan masalah.
1950-an: Robert Bales
dan rekan-rekannya bekerja pada kemampuan anggota kelompok untuk menangani
empat masalah fungsional: adaptasi, kontrol instrumental, ekspresi, dan
integrasi.
1972: Pengembangan
teori fungsional dari pengambilan keputusan yang efektif adalah karya Irving
Janis pada pengambilan keputusan yang hati-hati.
1983: Gouran dan
Hirokawa membuat syarat fungsional dalam komunikasi kelompok fungsional.
1993: Stohl dan Holmes
mengusulkan perpanjangan dengan menyarankan memahami masa lalu, kini, dan masa
depan untuk memahami hubungan kelompok itu dengan lingkungannya.
Setelah 1993-an: Gouran
dan Hirokawa juga mengajukan revisi dalam Buku Pengambilan Keputusan,
Komunikasi dan Kelompok.